Form Biodata

Minggu, 26 Februari 2012

REFLEKSI HIDUP ALA ABU NUWAS

oleh Aboe Djihan

Kisah-kisah dari Madura serta berbagai khazanah humor lainnya sering menunjukkan, bahwa dalam hubungan religius, manusia memiliki dua kecenderungan sikap kepada Tuhan. Yang satu serius, lainnya, maaf, cenderung santai dan penuh humor – meskipun yang terakhir ini tidak harus berarti negatif.

Misalnya, lihat saja kisah Nasrudin yang penuh satire, atau Syeh Abu Nuwas (bukan Abu Nawas, lho..!). Syairnya amat masyhur dan jadi ritus pujian di berbagai komunitas Islam tradisional.

Si penyair SUDRUN yang juga filosof dan manusia strategic ini caranya berhubungan dengan Tuhan sedemikian karib, sehingga penuh humor dan keakraban-keakraban lain.

Salah satu puisinya yang kondang HANYA TEPAT ditejemahkan ke Bahasa Madura, sebab kalau bahasa lainnya, terutama Bahasa Indonesia yang miskin dan agak sok, akan tidak mampu menyertakan nuansanya, humornya, sifat kedekatan antara Allah dengan hamba-Nya, serta ‘kehangatan jiwa’ ;

TUHAN, SAYA INI ndak coco’ KALO’ MASUK SORGA

TAPI KALO’ HARUS MASUK NERAKA YA JANGAN, ta iyeh..!

JADI KOMPAKLAH SAMA SAYA, AMPUNI DOSA SAYA

Sampeyan INI KAN MAHA PENGAMPUN DOSA SEBERAPA PUN BESARNYA...!

Enak saja dia memfetakompli Tuhan. Abu Nuwas yang selama hidupnya selalu menjengkelkan Khalifah Harun al-Rasyid namun justru karena itu ia amat dicintai dan dibutuhkan.

Mentang-mentang dia tahu Allah itu Maha Pengampun, ia selalu menagih. Kalau dia menghadap dengan membawa dosa-dosanya, sifat pengampun itu yang dijadikan BEMPER untuk menghindari tabrakan keras dengan hukum-Nya.

Tetapi orang hidup ini memang perlu PER....mentalnya perlu SHOCK ABSORBER yang olinya harus lancar dan konstan. Pengisian olinya ini bisa dengan rasionalitas ilmu psikologis, bisa pula dengan kearifan-kearifan keagamaan.

Kalau orang hidup tanpa PER di hatinya dan tanpa SHOCK ABSORBER di jiwanya, padahal jalanan nasib ini menggerunjal-gerunjal, penuh batu-batu dan duri, maka ia akan gampang rontok, cepat tua, dan mudah dihinggapi PENYAKIT KARTU MATI. Dan kalau sudah demikian, tak ada lagi gunanya segala harta benda dan kemewahan yang sudah setengah mati diperjuangkan dengan segala daya kewiraswastaan, atau bahkan dengan korupsi dan tipu-tipu....kikikikik (ketawa ala Gio mode on)

Adapun kita semua memafhumi bahwa humor adalah PER dan SHOCK ABSORBER yang paling ampuh. Abu Nuwas itu pasti frustasi dan sangat disiksa oleh rasa berdosanya yang tak terbatas seperti “butiran pasir di pantai”. Maka ia memerlukan suatu struktur logika dan pola pergaulan dengan Tuhan yang mengandung shock absorber bagi rasa aman jiwanya.

Kalau ada orang mengalami stres dan datang curhat kepada saya, saya biasanya tak mau banyak meladeni – karena saya sibuk dengan urusan PEMBANGUNAN. Saya hanya ucapkan kata-kata singkat;

“Semua makhluk Allah itu punya keterbatasan. Yakni membutuhkan ruang dan waktu. Benda, angin, peristiwa, manusia, juga stres....membutuhkan ruang dan waktu.

Maka jalan untuk menceraikan stres sangat simpel: jangan kasih ia ruang dan waktu, maka ia tak sempat dan tak akan punya tempat untuk eksis...(wkwkwkwk...semprul).”

Sebenarnya saya cuma melawak, tetapi ternyata banyak yang terbantu. WONG kerjaan selalu sangat banyak kok mau-maunya stres segala. Goblok sekali kalau manusia sampai tidak bersikap acuh tak acuh kepada makhluk yang bernama stres. Tak usah menyapa dia, tak usah kasih perhatian dia.

Kita bisa ngantor, bekerja, berdagang, kuliah, berfikir, membaca, mendengarkan musik, memperbaiki kendaraan, membantu tetangga, apa saja bentuk amal dimana usia kita tidak cukup untuk dipakai mengerjakan sesuatu yang bisa kita bikin daftar panjang untuk kita kerjakan...!

Mungkin justru karena itu Abu Nuwas menggagas bahwa Tuhan sama sekali bukan sumber stres, justru sebaliknya. Tuhan adalah asal muasal segala ketenteraman jiwa. Maka ia daya-upayakan suatu cara bergaul yang memungkinkan itu.

Padahal pada saat lain kepada Tuhan kita bersikap amat tunduk dengan cara yang ketat, kaku, MENTHELENG, tegang, tanpa senyum apalagi tawa, tidak berani membayangkan sedang 'memandang' Tuhan – padahal hidup yang sebaik-baiknya adalah berpedoman pada imajinasi seolah-olah hanya memandang Tuhan dan hanya dipandang Tuhan.

Dengan kata lain, kalau mau berkarya, beramal, berbuat baik, itu tidak didasarkan pada pembayangan sedang dilihat oleh mata manusia, melainkan berdasarkan pandangan dan penilaian Tuhan.

Yang disebut MAKRIFATULLAH adalah keadaan mengetahui dan melihat Allah sejauh kapasitas sebagai manusia.

Namun ada kisah Menwa Madura yang karena rileksnya, agak kelewatan kepada Tuhan;

Pada saat menjalani berbagai latihan kemiliteran, ada suatu saat dimana ia harus menjalani latihan terjun payung.

"Jangkrik...betapa menakutkan..!!

Kenapa sudah enak-enak di bumi kok manusia malah punya inisiatif untuk terbang lantas terjun segala...?!

Semprul....GENDHENG tu namanya...!!"

Si Madura takut alang kepalang, tetapi demi gengsi etnis, ia coba lewati juga ujian itu. Dam-diam ia berdo’a; “Tuhan, kalau sudah terjun nanti saya selamat lagi sampai di bumi, saya berjanji akan sembelih ayam sebagai rasa syukur saya....”

Ketika mulai berbaris dengan rekan serombongannya menuju pesawat, tawarannya kepada Tuhan ia naikkan; “Saya sembelih kambing, Tuhan...kambing...tidak hanya ayam...”

Ketika pesawat mulai naik dan ia menengok ke bumi melalui kaca jendela, tawarannya naik lagi; “Sapi...Tuhan, sapi...sapi...”

Begitu juga ketika di dalam pesawat saat ia berbaris untuk terjun satu demi satu, serta ketika tangan komandannya mendorong punggungnya sehingga ia terlontar ke angkasa bebas, yang ia ucapkan adalah; “Sapi...sapi...sappiiiii....(ingat, dialek Madura mengucapkan sapi dengan dua P, jadi: SAPPI)

Namun begitu ia sukses mendarat kembali di bumi, sambil melepas tali-tali pengikat parasut, ia lantas bertolak pinggang sambil berseru kepada diri sendiri (jadi keingetan Mr. Bean);

“Meskipun saya NDAK SEMBELLEH SAPPI, mana ada yang tahu...?!”

Tentu saja Madura kita ini hanya melawak. Ia hanya menyindir atau merefleksikan kebiasaan manusia, kebiasaan kita pada umumnya untuk merasa dekat dan butuh kepada Tuhan hanya pas waktu KEPEPET, dan sesudah itu melanggar-Nya lagi.

Dan kalau sudah begitu, metoda Abu Nuwas yang dipakai......hufffffhh

hahay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar